Situasi yang kini kita alami, memang menggelisahkan,menyaksikan sekitar 38 juta penduduk masih bergulat dalam kemiskinan. Jeritan
tanpa suara (voice of the voiceless) itu, terasa menyayat sanubari, membuat kita bergegas
ingin mengulurkan tangan. Namun, apakah mereka membutuhkan bantuan seperti yang kita
pikirkan ? Pengalaman menunjukkan, bila bantuan yang kita berikan salah, justru akan
mematikan kemandirian, inisiatif dan menimbulkan ketergantungan. oleh karena itu, mari kita
“mencari tahu” siapakah si miskin itu ?
Apakah orang miskin malas dan tak mau bekerja ? Tentu tidak. Bila mereka tak mau bekerja,
tentunya tak bisa mempertahankan hidup. Lalu, apakah mereka the have not ? Tentu juga
bukan. Mereka adalah the have little, mereka memiliki sesuatu meski sedikit. Entah tenaga,
tradisi gotong royong, tanah, famili dll. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja (keras),
namun produktifitasnya sangat rendah. Acapkali jam kerjanya tak terbatas, namun
penghasilannya tetap minim, usahanya kurang berkembang dan hanya bertahan pada tingkat
subsistensi.
Keberadaan usaha mikro, merupakan fakta semangat jiwa kewirausahaan sejati di kalangan
rakyat yang bisa menjadi perintis pembaharuan.
Melihat peran dari usaha mikro yang sangat strategis, timbul pertanyaan mengapa usaha ini
kebanyakan sulit berkembang.
Jenis Kesulitan Usaha Mikro
1. Kesulitan modal
2. Pengadaan bahan baku
3. Pemasaran
4. Kesulitan lainnya Sumber:
Masyarakat lapisan bawah pada umumnya nyaris tidak tersentuh (undeserved) dan tidak
dianggap memiliki potensi dana oleh lembaga keuangan formal, sehingga menyebabkan laju
perkembangan ekonominya terhambat pada tingkat subsistensi saja. Kelompok masyarakat
ini dinilai tidak layak bank (not bankable) karena tidak memiliki agunan, serta diasumsikan
kemampuan mengembalikan pinjamannya rendah, kebiasaan menabung yang rendah, dan
mahalnya biaya transaksi. Akibat asumsi tersebut, maka aksesibilitas dari pengusaha mikro
terhadap sumber keuangan formal rendah, sehingga kebanyakan mereka mengandalkan
modal apa adanya yang mereka miliki.
MENGAPA KEUANGAN MIKRO ?
Salah satu cara untuk memecahkan persoalan yang pelik itu, yaitu pembiayaan masyarakat
miskin pengusaha mikro, adalah melalui keuangan mikro
.
Keuangan mikro berfungsi memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro
(microenterprises) untuk meningkatkan usahanya, setelah itu usaha mereka akan berjalan
lebih lancar dan lebih “besar”. Kebutuhan dana bagi microenterprises setelah mendapat
dukungan modal itu akan meningkat, sehingga dibutuhkan Lembaga Keuangan Masyarakat
(Mikro) yang dapat secara terus-menerus melayani kebutuhan mereka.
Dalam mengembangkan keuangan mikro untuk melayani masyarakat miskin (economically
active poor) tersebut, terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan :
1. Banking of the poor
Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, dimana mobilisasi
keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu
sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership base, dimana
keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang
penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU),
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dll.
2. Banking with the poor
Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik
kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal atau
yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan
formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan untuk
diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau saling
menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak
(outreaching), sementara pihak masyarakat miskin akan mendapat akses untuk
mendapatkan financial support. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang sering
disebut Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
3. Banking for the poor
Bentuk ini mendasarkan diri atas credit led institution dimana sumber dari financial
support terutama bukan diperoleh dari mobilisasi tabungan masyarakat miskin,
namun memperoleh dari sumber lain yang memang ditujukan untuk masyarakat
miskin. Dengan demikian tersedia dana cukup besar yang memang ditujukan
kepada masyarakat miskin melalui kredit. Contoh bentuk ini adalah : Badan Kredit
Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank, ASA, dll.
Bentuk pertama (Banking of the poor) menekankan pada aspek pendidikan bagi masyarakat
miskin, serta melatih kemandirian. Bentuk ketiga (Banking for the poor) menekankan pada
penggalangan resources yang dijadikan modal (capital heavy), yang ditujukan untuk
masyarakat miskin. Sedangkan bentuk kedua (Banking with the poor) lebih menekankan
pada fungsi penghubung (intermediary) dan memanfaatkan kelembagaan yang telah ada.
KEUANGAN MIKRO DAN DUA GENERASI PEMBANGUNAN\
Proses pembangunan di Indonesia seperti di banyak negara berkembang lainnya, pada awalnya
menyikapi persoalan kemiskinan
(termasuk didalamnya ekonomi rakyat) dengan melihatnya sebagai keadaan sementara yang
dalam proses pembangunan lebih lanjut akan secara otomatis menghilang melalui proses
trickle down effect. Untuk membantu rakyat miskin bertahan dalam kemiskinannya sampai
tiba waktunya kue pembangunan menetes pada mereka, disediakanlah berbagai bantuan
kepada mereka mulai dari penyediaan berbagai kebutuhan dasar
seperti pangan, sandang, kesehatan, maupun pendidikan sampai bantuan teknis dan hibah
peralatan serta modal.
Pendekatan yang sering disebut sebagai pendekatan pembangunan
generasi pertama ini harus diakui telah mampu meningkatkan berbagai indikator sosial
secara signifikan. Namun pendekatan ini telah menimbulkan berbagai
persoalan seperti berkembangnya sikap ketergantungan dan melemahnya berbagai modal
sosial yang dimiliki masyarakat, tidak diselesaikannya akar masalah penyebab kemiskinan
yaitu ketimpangan distribusi dan akses terhadap sumber daya ekonomi, masih
dipinggirkannya peran perempuan, dan semakin melebarnya jurang perbedaan antara
mereka yang diuntungkan dalam kebijakan perekonomian yang diambil dengan rakyat miskin
secara keseluruhan.
Belajar dari pengalaman generasi pertama, pendekatan pembangunan generasi kedua mulai
menggunakan keuangan mikro sebagai metode utamanya. Kontribusi dari pendekatan
generasi kedua ini adalah:
1) diversifikasi pelaku utama pembangunan,
2) pembiayaan pembangunan yang menggunakan sumber-sumber keuangan dari masyarakat sendiri,
3)semakin pentingnya peran perempuan
4) pendekatan pembangunan yang memiliki potensi untuk berlanjut (sustainable).
Pendekatan pembangunan generasi pertama yang menumpukan inisiatif pembangunan pada
pemerintah telah memiliki dampak yang kurang menguntungkan pada dua arah. Pada sisi
pemerintah beban pembangunan yang sebelumnya tersebar pada berbagai kelompok
masyarakat mengerucut dan menjadi beban pemerintah sendiri. Sementara pada
masyarakat, pengambiloperan berbagai kegiatan pembangunan oleh pemerintah telah
mengembangkan sikap apatis dan ketergantungan yang semakin lama semakin besar.
usaha besar dan konglomerasi menimbulkan efek domino pada ekonomi
Pengambil operan inisiatif pembangunan membuat biaya pembangunan menjadi
terkonsentrasi pada pemerintah. Beban yang semakin lama semakin besar ini tidak dipenuhi
melalui sumber-sumber pembiayaan dalam negeri melainkan menggunakan sumber
pembiayaan luar negeri yang pada gilirannya mendorong munculnya ketergantungan yang
semakin besar. Kebijakan yang ditempuh tersebut kurang memberikan apresiasi terhadap
kenyataan bahwa didalam negeri terdapat sumber dana yang memadai. Kenyataan bahwa
dari seluruh dana yang dihimpun dari masyarakat melalui perbankan (kasus BRI) hanya
kurang dari separuh yang dimanfaatkan untuk memberikan pembiayaan usaha melalui kredi.
Pendekatan keuangan mikro dalam generasi kedua membuka pemikiran bahwa pembiayaan
pembangunan dapat dilakukan secara komersial menggunakan sumber dana dalam negeri yaitu
tabungan masyarakat.
Peran perempuan selama beberapa waktu kurang mendapatkan tempat yang sepantasnya
meskipun sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Pengalaman praktek keuangan
mikro di berbagai tempat ternyata memberikan bukti yang berbeda. Kaum perempuan justru
merupakan kelompok yang proaktif dan handal dalam mengelola ekonomi rumah tangga dan
memanfaatkan peluang ekonomi secara optimal. Kaum perempuan juga memberikan
dampak berganda (multipler effect) yang lebih besar dari intervensi pembangunan yang
dilakukan karena berbagai persoalan keluarga seperti gizi keluarga, kesehatan keluarga,
pendidikan anak, dan sebagainya secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak.
MERAJUT KEBERSAMAAN DAN MEMBANGUN KEMANDIRIAN BANGSA
menggalang kerjasama berbagai pihak (stakeholders) dalam masyarakat adalah hal yang
sangat penting. Oleh sebab itu, diperlukan
sebuah forum (wadah) kebersamaan para pelaku yang mempunyai keterkaitan untuk
pengembangan usaha rakyat sehingga bisa saling berkomunikasi, saling memahami,
membentuk jaringan, dan bekerjasama secara saling menguntungkan.
Salah satu alternatif yang telah dilakukan dalam pengalaman kami adalah pembentukan
Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro) Indonesia. Gema PKM ini
adalah sebuah forum stakeholder yang terdiri dari institusi pemerintah, lembaga keuangan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, akademisi (perguruan tinggi) dan
lembaga penelitian, sektor usaha, sektor bisnis, media massa, dan kelompok swadaya
masyarakat (masyarakat miskin).
Dari pengalaman yang telah kami alami, dengan adanya interaksi, komunikasi, saling belajar
dan mengajar, serta saling memahami satu sama lain, maka akan terjadi pembelajaran
masing-masing dan kerjasama yang saling menguntungkan. Banyak persoalan yang akhirnya
dapat dipecahkan sendiri diantara para pihak yang berkaitan dengan adanya interaksi dan
komunikasi yang intensif.
Selain itu untuk membantu mereka yang miskin dan lemah melalui terbentuknya semacam forum ini,
Niat baik saja tidaklah cukup.Ternyata dibutuhkan kesabaran, ketekunan, dan ketahanan bergumul
dengan berbagai kerumitan, namun tetap harus fokus pada tujuan.
Dan salah satu kunci keberhasilan dari forum semacam ini adalah partisipasi dan sikap pro aktif dari
para stakeholder sendiri.
Dan sebagai catatan penutup, apa yang kita putuskan atau tidak-putuskan hari ini tidak akan
berarti banyak bagi orang miskin (pengusaha mikro) besok atau bulan depan. Mereka tetap
akan berusaha untuk ‘survive’ dengan caranya sendiri. Namun apa yang kita putuskan, atau
yang tidak kita putuskan hari ini mungkin akan berakibat bagi perkembangan ekonomi rakyat
(usaha mikro) dalam jangka menengah atau jangka panjang.
Namun yang jelas, kita telah “berhutang” kepada para founding fathers, untuk mewujudkan
cita-cita kebangsaan, yaitu berdaulat dalam bidang politik, berkepribadian dalam bidang
kebudayaan dan mandiri dalam bidang ekonomi. Tetapi setiap generasi mempunyai
pilihannya sendiri, apakah kita akan memperjuangkan hal itu, tentu tergantung pada diri kita
sendiri. Namun yang jelas, setiap pilihan merupakan cerminan dari sebuah sikap. Inilah yang
akan memperlihatkan apakah kita akan menjadi bangsa yang besar dan mandiri, ataukah
memang kita adalah bangsa yang lemah dan hanya menjadi peminta-minta. Inilah tantangan
generasi kita sekarang. Terima kasih.***